Selasa, 22 Juli 2025


Budaya K-Pop: Saat Meme, Fandom, dan Bahasa Pop Culture Jadi Alat Komunikasi Anak Muda



 

Oppa Saranghae!” antara Hiburan dan Bahasa Baru

Pernah dengar temanmu teriak “saranghae oppa!” sambil nge-fangirling di konser? Atau kamu pernah ngakak sendiri karena lihat meme K-Pop yang relate banget sama kehidupan sehari-hari? Yup, itu bukan sekadar hiburan. Hari ini, budaya K-Pop sudah berkembang jadi bagian dari bahasa komunikasi anak muda, bukan hanya di Korea, tapi juga di seluruh dunia termasuk Indonesia.

Melalui fandom komunikasi, meme sebagai pesan, dan penggunaan bahasa pop culture, para penggemar K-Pop membentuk cara baru dalam menyampaikan pesan, menunjukkan emosi, hingga membangun identitas diri.

Sebagai mahasiswa Ilkom Inaba, kamu pasti akrab dengan bagaimana komunikasi berkembang dalam komunitas digital. Nah, budaya K-Pop adalah contoh paling menarik dari komunikasi lintas budaya yang hidup dan terus berkembang terutama lewat fandom, meme, dan bahasa popculture yang melekat dalam kehidupan sehari-hari anak muda. Yuk, kita bahas bagaimana budaya ini bisa jadi saluran komunikasi yang kreatif, seru, dan bermakna!

Fandom Komunikasi: Ketika Fans Bicara Pakai Emosi dan Hashtag

Dalam dunia K-Pop, fandom bukan cuma kumpulan fans. Mereka adalah komunitas aktif yang saling terhubung lewat bahasa, kode, dan simbol yang hanya dimengerti oleh sesama anggota.

Misalnya:

-         Fans BTS disebut ARMY, dan mereka punya jargon khas seperti “I purple you”

-         Fans EXO disebut EXO-L yang saling menyapa dengan “saranghaja”

-         Fandom Stray Kids, Stay, sering pakai kalimat “You make Stray Kids stay”

Ini bukan sekadar nama, tapi cara mereka berkomunikasi satu sama lain. Bahkan ketika ngomong di Twitter, mereka bisa langsung paham maksud sebuah cuitan meski hanya pakai emoji, fancam, atau potongan lirik.

Menurut Henry Jenkins (1992), budaya fans atau fandom culture memungkinkan anak muda membentuk komunitas aktif yang menciptakan makna bersama dari media yang mereka konsumsi. Artinya, fans bukan cuma penonton pasif, tapi ikut “bicara” lewat budaya pop.

 Meme sebagai Pesan: Tertawa, Tapi Dalam

Meme K-Pop udah jadi bagian dari “bahasa sehari-hari” di kalangan penggemar. Kadang berupa ekspresi lucu idol, potongan video fancam, atau template editan yang bisa dipakai untuk segala topik, dari cinta sampai stres tugas kuliah.

Contoh:

-         Ekspresi Jungkook ngambek bisa jadi simbol "aku lagi bad mood"

-         Meme “Lisa BLACKPINK nanya nih…” bisa dipakai buat sindiran halus

-         Gambar idol ketawa sinis disertai teks, “aku: senyum, padahal hati berantakan”

Lewat meme, fans menyampaikan pesan emosional, kritik sosial, bahkan komentar budaya dengan cara yang ringan dan mudah dipahami.

Meme bukan sekadar guyonan, tapi juga alat komunikasi visual. Menurut Limor Shifman (2013), meme bisa jadi “cultural information unit” yang menyebar dari satu individu ke lainnya dan menciptakan kesamaan makna.

Di kalangan mahasiswa Ilkom Inaba, meme bisa dijadikan studi kasus menggunakan teori Semiotika. Bagaimana satu gambar bisa menyampaikan pesan lengkap dalam hitungan detik, bahkan lebih efektif dari paragraf panjang.

Bahasa Pop Culture: Kode Rahasia Anak Gen Z

Kalau kamu aktif di Twitter, TikTok, atau Instagram, kamu pasti sering nemu kalimat kayak:

“Aku butuh healing… pake suara D.O aja udah cukup”

“Lagu Taeyeon tuh kayak pelukan virtual deh, sumpah”

“Bias aku ngasih afirmasi lewat live barusan, auto semangat!”

Itu contoh bagaimana bahasa pop culture jadi alat komunikasi emosional. Kata-kata seperti healing, bias, stan, comeback, dan fanchant sekarang udah akrab di telinga remaja, bahkan yang bukan penggemar berat sekalipun.

Menariknya, bahasa ini punya makna tersendiri di kalangan komunitasnya. Di luar fandom, kata “comeback” bisa berarti kembali ke suatu tempat. Tapi di dunia K-Pop, itu artinya idol akan merilis karya baru, lengkap dengan konsep dan teaser yang dinanti-nanti.

Penggunaan bahasa pop culture ini memperkuat rasa kebersamaan. Anak muda yang memahami istilah ini merasa “terhubung” satu sama lain, seolah berada dalam ruang komunikasi khusus yang penuh warna, ekspresi, dan makna.

Komunikasi Global Lewat Budaya Lokal

Yang lebih keren lagi, budaya K-Pop juga mendorong komunikasi lintas negara. Meski sebagian besar penggemarnya nggak bisa bahasa Korea, mereka tetap bisa memahami isi lagu, ucapan idol, bahkan ikut belajar huruf Hangeul!

Banyak penggemar Indonesia yang bisa:

-       Baca subtitle fan translation

-       Pakai honorifik Korea seperti oppa, unnie, sunbae

-       Ikut trend seperti “Random Play Dance”, fan chant, atau album unboxing

Di sinilah kita bisa lihat bagaimana budaya pop bisa membentuk komunikasi global, tanpa harus menghapus budaya lokal. Bahkan banyak konten kreator lokal yang menggabungkan elemen K-Pop dengan bahasa daerah atau konteks Indonesia, seperti meme “Jungkook vs. tugas numpuk” atau parodi “Idol datang ke warung Padang”.

Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Gaya Komunikasi Fandom K-Pop?

a)     Kreativitas Tanpa Batas

Komunikasi nggak selalu soal kata-kata formal. Fandom menunjukkan bahwa pesan bisa disampaikan lewat gambar, ekspresi, humor, dan simbol.

b)    Bahasa Bukan Penghalang, Tapi Jembatan

Lewat lirik, video, dan konten idol, anak muda belajar bahasa asing secara alami—tanpa dipaksa.

c)     Rasa Kebersamaan yang Kuat

Fandom menciptakan ikatan emosional dan solidaritas, bahkan di antara orang-orang yang belum pernah bertemu langsung.

d)    Mengasah Literasi Digital

Anak muda belajar banyak soal media, editing, storytelling, bahkan manajemen event dari aktivitas fandom.

Komunikasi Itu Nggak Harus Kaku

Lewat budaya K-Pop, kita belajar bahwa komunikasi bisa sangat ekspresif, kreatif, dan inklusif. Kamu bisa menyampaikan perasaan lewat meme, membangun komunitas lewat fandom, dan berbicara dengan “bahasa pop” yang hanya dipahami orang-orang yang satu frekuensi.

Jadi, jangan anggap fandom cuma soal teriak-teriak lihat idol. Di balik itu semua, ada dinamika komunikasi yang menarik, cerdas, dan menggambarkan semangat zaman. Selama digunakan secara sehat dan positif, budaya K-Pop bisa jadi salah satu bentuk komunikasi paling keren yang dimiliki generasi kita sekarang.

Sebagai mahasiswa atau calon mahasiswa Ilkom Inaba, kamu punya peluang besar untuk mengangkat budaya K-Pop menjadi studi ilmiah yang fun dan bermakna. Karena di balik “Oppa ganteng” dan “fancam viral”, ada dunia komunikasi yang patut diapresiasi

 

 

 

 




Komunikasi Assertif: Cara Santun Berani Bilang “Tidak” untuk Remaja Introvert

 


Pernah Nggak, Ngerasa Sulit Bilang “Nggak”?

Pernah Gak, Kamu Mau Nolakin Tapi Gak Enak?

“Eh temenin aku dong ke sana.”

“Boleh minjam uang sebentar?”

“Ayo ikut, masa kamu nggak ikut sih?”

Kalau kamu sering bilang “iya” padahal sebenarnya mau bilang “nggak”, berarti kamu butuh belajar komunikasi asertif. Apalagi buat kamu yang cenderung introvert dan sering nggak enakan, belajar berani bilang tidak itu adalah kunci untuk menjaga kesehatan mental dan hubungan sosial yang sehat.

Sebagai mahasiswa Ilkom Inaba, kamu pasti belajar banyak soal cara berkomunikasi efektif. Tapi tahu nggak, salah satu jenis komunikasi paling penting dalam kehidupan sehari-hari adalah komunikasi asertif?

Nah, di artikel ini kamu bakal tahu cara berBerkomunikasi yang tegas tapi tetap sopan, jelas tapi nggak menyakiti orang lain,caranya berani bilang tidak, menjaga hubungan tetap sehat, dan tetap jadi diri sendiri tanpa merasa bersalah.

 Apa Itu Komunikasi Assertif?

Komunikasi assertif adalah cara menyampaikan pikiran, perasaan, atau keinginan secara langsung, jujur, dan hormat, baik ke diri sendiri maupun orang lain. Jadi bukan komunikasi yang pasif (selalu “iya”, padahal dalam hati “menolak” dan bukan juga terlalu “memaksa”)

Menurut Alberti & Emmons (2008), komunikasi assertif adalah keterampilan sosial yang membantu seseorang menyatakan haknya tanpa melanggar hak orang lain. Ini adalah kunci utama dari komunikasi sehat, terutama untuk kamu yang masih belajar mengenal batas diri.

Kenapa Remaja Perlu Belajar Komunikasi Tegas?

·         Biar Nggak Jadi "Yes Man/Woman" Sepanjang Waktu

Kalau kamu selalu mengiyakan semua permintaan, lama-lama kamu bisa capek sendiri, bahkan kehilangan jati diri.

·         Menjaga Batas Sehat dalam Hubungan

Dengan komunikasi tegas, kamu bisa menunjukkan batasan tanpa harus marah-marah. Cocok banget buat kamu yang nggak suka konflik, tapi juga nggak mau terus-menerus dimanfaatkan.

·         Meningkatkan Rasa Percaya Diri

Saat kamu bisa menyuarakan keinginan atau ketidaksukaan dengan tenang, kamu jadi lebih merasa berharga dan dihargai.

·         Bermanfaat di Dunia Nyata & Digital

Di dunia kerja, organisasi, atau pertemanan, kemampuan ini bikin kamu nggak gampang ditekan dan bisa mempertahankan pendapatmu secara sehat.

 Remaja Introvert, Kamu Bisa Kok Punya Suara!

Introvert sering dianggap pendiam, tapi bukan berarti nggak punya pendapat, atau tidak bisa menyuarakan pendapat. Banyak introvert justru punya pemikiran matang, hanya saja butuh waktu dan ruang untuk menyampaikan.

Nah, komunikasi assertif bisa jadi alat buat kamu menyuarakan isi hati dengan cara yang nyaman dan nggak memaksakan diri jadi orang lain. Kamu tetap bisa jadi pribadi yang tenang, tapi punya prinsip dan dihormati.

Di jurusan Ilkom Inaba, komunikasi asertif bahkan menjadi bagian penting karena sangat relevan dengan kehidupan sosial mahasiswa.

 

Tanda Kamu Sudah Mulai Komunikatif Secara Assertif:

Ø  Kamu bisa bilang “tidak” tanpa merasa bersalah

Ø  Kamu memberi kritik atau pendapat dengan cara sopan

Ø  Kamu berani menolak ajakan yang bertentangan dengan nilai pribadimu

Ø  Kamu tetap bisa menjaga hubungan walau berbeda pendapat

Tips Komunikasi Assertif Buat Kamu yang Mau Latihan

Berikut cara praktis buat mulai belajar komunikasi tegas dan sehat, khususnya untuk kamu yang masih merasa nggak enakan:

1.      Gunakan Pernyataan “Saya”

Daripada ngomong, “Kamu nyebelin banget sih,” coba:“Saya ngerasa terganggu kalau ditelepon larut malam. Boleh nggak kita atur waktu ngobrolnya?”

Kalimat “saya” lebih fokus ke perasaan kamu, bukan menyalahkan orang lain.

2. Tegas, Tapi Tetap Ramah

Contoh situasi: diajak nongkrong padahal kamu lagi capek.

“Nggak ah, males.”

“Makasih ya udah ngajak. Tapi aku butuh istirahat dulu malam ini.”

3.   Latihan di Depan Cermin atau Teman Dekat

Kalau kamu takut kelihatan kaku atau terlalu keras, coba latihan dulu di depan cermin atau ke sahabat yang bisa kasih feedback jujur.

4.    Mulai dari Situasi Kecil

Nggak harus langsung ke konflik besar. Mulai dari hal kecil:

·         Minta makananmu jangan pedas

·         Tolak ajakan grup WA yang kamu nggak nyaman

·         Minta waktu untuk menyendiri sebentar karena kepribadian introvert suka menyendiri untuk memulihkan energi nya setelah bersosial

5.      Tenang & Jaga Ekspresi

Nada bicara, kontak mata, dan bahasa tubuh bisa memperkuat pesanmu. Nggak perlu marah atau melotot. Bersikap tenang, Agar terlihat kesan lebih elegan dan bisa dipercaya.

Apa yang Terjadi Kalau Terus Menerus Pasif?

Kamu mungkin menghindari konflik, tapi bisa berakhir dengan:

a)   Perasaan lelah dan nggak dihargai

b)  Kesulitan membangun hubungan yang sehat

c)   Diri sendiri jadi nggak tahu maunya apa

d)  Orang lain jadi terus memanfaatkan kamu

Makanya, penting buat mulai berani bilang tidak, bukan karena egois, sombong atau merasa tidak enak tapi karena kamu juga manusia yang punya batas, energi, dan perasaan.

Kesimpulan: Tegas Itu Nggak Sama dengan Galak

Kamu nggak harus berubah jadi orang keras atau dominan untuk bisa dihargai. Justru dengan komunikasi assertif, kamu bisa menjaga hubungan baik sambil tetap setia pada prinsip dan kebutuhan diri sendiri.

Untuk kamu yang introvert, ingat: suaramu tetap penting. Pelan-pelan belajar menyuarakan isi hati dengan cara yang tenang dan tulus akan membantumu jadi pribadi yang kuat, sehat secara emosional, dan lebih dihargai orang lain.

Sebagai bagian dari generasi muda dan mahasiswa Ilkom Inaba, kamu punya tanggung jawab untuk membentuk hubungan sosial yang sehat, dimulai dari cara kamu berkomunikasi. Yuk, belajar jadi berani dan tegas tanpa kehilangan kelembutan hati Karena menyenangkan orang lain terus-menerus bukanlah tugasmu. Yang penting, kamu sudah menyampaikan dengan sopan, tegas, dan jujur.


Referensi:

Alberti, R.E., & Emmons, M.L. (2008). Your Perfect Right: Assertiveness and Equality in Your Life and Relationships.

Rahmat, J. (2019). Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

 


 Self Branding Remaja: Kenapa Kamu Perlu Bangun Citra Diri Sejak Muda





Di Zaman Sekarang, Citra Diri Itu Segalanya

Pernah nggak sih kamu merasa harus tampil keren di Instagram, tapi tetap pengin jadi diri sendiri? Atau mungkin kamu bingung, gimana cara menunjukkan kelebihan tanpa terlihat pamer?

Kalau kamu mahasiswa Ilkom Inaba, masih remaja atau baru masuk usia dewasa muda (18–25 tahun), ini bukan masalah kamu sendiri. Saat ini, membangun self branding atau citra diri sejak muda itu penting banget, bukan cuma buat terlihat keren di dunia maya, tapi juga untuk karier, relasi, dan pengembangan diri ke depan. yuk mari kita kenali lebih dalam soal branding diri dan kenapa itu penting banget di zaman sekarang.

Apa Itu Self Branding?

Self branding atau personal branding adalah cara seseorang menampilkan identitas dirinya, baik secara sadar maupun tidak kepada orang lain.

Menurut Montoya & Vandehey (2005), personal branding adalah proses membangun persepsi orang lain terhadap siapa diri kita, apa yang kita tawarkan, dan bagaimana kita ingin dikenang.

Jadi jika kita ingin dikenal sebagai anak yang ramah, rajin, pintar, maka kita harus mebranding diri kita sendiri sesuai apa yang kita inginkan baik di media sosial maupun di dunia nyata,

Mahasiswa Ilkom Inaba pasti tahu dan mempelajari apa itu “Branding” atau “self Branding” karena konsep ini sering dibahas karena menyangkut bagaimana seseorang tampil dan dikenal dalam ruang publik modern, terutama di media sosial.

Kenapa Personal Branding Penting untuk Anak Muda?

1)     Agar Kamu mempunyai arah Hidup  
     Ketika kamu tahu kamu ingin dikenal sebagai apa, misalnya content creator yang inspiratif atau mahasiswa yang aktif kamu jadi lebih fokus melakukan hal-hal yang sesuai.


2)    
Membuka Peluang

Banyak anak muda yang dapat kesempatan magang, kerja, bahkan kolaborasi karena branding dirinya di media sosial terlihat positif dan menarik. Mahasiswa Ilkom Inaba misalnya banyak yang mendapat peluang magang dan kerja sebagai PR, digital content, dan komunikasi strategis akibat dari branding diri yang positif.

3)     Menjaga Reputasi Diri di Era Digital

Semua orang bisa "googling" nama kamu di media sosial. Jadi penting banget buat membangun citra yang baik sejak awal. Dan menjaga personal branding yang di ciptakan.

4)     Menunjukkan Keunikanmu

Branding diri yang kuat bikin kamu terlihat mencolok dan unik dari orang lain, apalagi saat bersaing di dunia pendidikan atau karier.

Citra Diri di Media Sosial: Kamu Sedang Tampil Sebagai Siapa?

Media sosial sekarang jadi kartu nama virtual. Apa yang kamu posting bisa mencerminkan kepribadian, nilai, dan bahkan tujuan hidupmu.

Contoh:

·         Postingan tentang kegiatan volunteer kamu peduli sosial

·         Share tentang buku & review kamu suka belajar

·         Caption positif dan inspiratif kamu ingin menginspirasi

Tapi hati-hati juga. . Postingan negative seperti kasar, sombong, angkuh, pamer justru dapat menciptakan citra yang buruk. Sehingga gunakalah media sosial hanya untuk hal-hal yang postif dan bermanfaat

Sekarang ini, banyak perusahaan, kampus, bahkan rekan kolaborasi yang melihat media sosial seseorang sebagai cerminan kepribadian dan nilai hidupnya. Jadi, membangun citra diri yang baik bukan soal pencitraan semata, tapi bagian dari strategi masa depan yang cerdas dan realistis.

Cara Membangun Branding Diri Sejak Muda

Tidak perlu langsung heboh rebranding besar-besaran. Kamu bisa mulai dari langkah atau hal-hal kecil tapi konsisten. Ini dia beberapa cara membangun personal branding anak muda:

1.       Kenali Dirimu Dulu

Sebelum kamu “Branding” siapa kamu ke public , kamu harus tahu dulu: apa nilai yang kamu pegang, minatmu di mana, dan hal apa yang bikin kamu semangat. Misalnya kamu suka edukasi, dunia kreatif, atau lingkungan, itu bisa jadi titik awal.

2.      Tentukan Citra Seperti Apa yang Ingin Dibangun

Mau dikenal sebagai pribadi yang inspiratif? Lucu dan kreatif? Sopan dan cerdas? Kamu bisa memilih satu persona yang paling mencerminkan sesuai kepribadianmu.

3.       Bangun Identitas Digital

·         Buat bio atau keterangan profil yang singkat tapi jelas

·         Gunakan username yang profesional dan mudah diingat

·         Posting hal-hal yang sesuai dengan citra yang kamu bangun

·         Tampilkan aktivitasmu di kampus, komunitas, atau project positif lainnya

4.      Konsisten di Platform yang Tepat

Kalau kamu ingin masuk dunia profesional, LinkedIn bisa jadi tempat membangun personal branding. Kalau kamu lebih ke dunia kreatif, Instagram atau TikTok bisa jadi ruang eksplorasi.

5. Perhatikan Gaya Komunikasi

Cara kamu menulis caption, membalas komentar, atau bikin video juga jadi bagian dari branding. Gunakan bahasa yang sopan, jujur, dan sesuai dengan target audiens kamu.

Kesimpulan: Bangun Branding Diri = Investasi Jangka Panjang

Self branding bukan tentang pencitraan palsu. Melainkan, tentang personal branding yang berdasarkan konsistensi, jujur dan mau berkembang. Kamu nggak harus jadi siapa-siapa dulu untuk mulai membangun branding. Justru disaat masih muda, inilah saatnya untuk mulai menciptakan citra yang positif, berkarakter, dan menggambarkan siapa dirimu yang sebenarnya.

Sebagai mahasiswa atau calon mahasiswa IlkomInaba, kamu punya banyak peluang untuk mengembangkan branding dirimu melalui pembelajaran komunikasi, media digital, dan keterampilan public speaking yang relevan banget dengan kebutuhan zaman sekarang.

Karena apa yang kamu tampilkan hari ini, akan jadi jejak digital yang bisa memengaruhi peluang masa depanmu. Jadi, yuk mulai branding diri dari sekarang, dan jadi versi terbaik dari diri sendiri 


Kamis, 17 Juli 2025

 

Komunikasi Lintas Generasi: Biar Gak Gagal Paham Sama Orang Tua

 


 Pernah Merasa “Gak Nyambung” Kalau Ngobrol Sama Orang Tua?

“Papa tuh gak ngerti aku...”

“Dulu zaman ayah beda, sekarang gak bisa begitu...”

Atau yang paling klasik:

“Kamu jawab duluan kalau orang tua ngomong, itu namanya gak sopan!”

Kalau kamu merasa sering gagal paham saat ngobrol sama orang tua, kamu gak sendirian. Ini adalah masalah yang umum terjadi dalam komunikasi lintas generasi, apalagi antara remaja vs dewasa.

Buat kamu mahasiswa Ilkom Inaba atau remaja yang sedang belajar lebih peka terhadap komunikasi, artikel ini akan membantumu mengenali beda cara ngobrol antar generasi dan bagaimana menghadapinya dengan lebih sehat.

 Apa Itu Komunikasi Lintas Generasi?

Komunikasilintas generasi adalah interaksi verbal maupun non-verbal antara dua generasi yang berbeda, misalnya antara Gen Z (remaja sekarang) dan Baby Boomer (orang tua).

Menurut Gustavsson & Ekström (2003), komunikasi antar generasi sering kali menghadirkan tantangan karena:

  • Perbedaan nilai dan norma
  • Cara penyampaian pesan
  • Gaya bahasa dan penggunaan teknologi

Makanya, beda cara ngobrol itu wajar. Tapi bukan berarti gak bisa dijembatani

Beda Cara Ngobrol: Remaja vs Dewasa

Remaja:

  • Lebih suka komunikasi dua arah
  • Ingin didengar, bukan dihakimi
  • Lebih ekspresif lewat media digital (chat, story, emoji)
  • Menggunakan bahasa gaul, singkatan, atau bahkan meme

Dewasa / Orang Tua:

  • Cenderung otoritatif
  • Ingin dihormati terlebih dahulu
  • Lebih nyaman dengan komunikasi langsung dan formal
  • Tidak selalu paham bahasa pop culture

Sebagai mahasiswa Ilkom Inaba, kamu pasti bisa melihat ini dari sudut pandang ilmu komunikasi. Perbedaan persepsi dan pendekatan komunikasi inilah yang sering jadi akar kesalahpahaman.

 Komunikasi Sama Ortu: Antara Sayang dan Salah Paham

Penting banget buat kamu memahami bahwa komunikasi sama ortu sering dibungkus dalam bentuk perhatian. Tapi, cara mereka menyampaikan perhatian itu kadang terasa menyakitkan atau bikin kita tertekan.

Contoh umum:

  • "Kamu harus masuk jurusan ini, biar masa depanmu jelas."
  • "Zaman Mama dulu, gak ada tuh yang namanya rebahan tiap hari."

Nah, dari sisi ortu, itu bentuk kasih sayang. Tapi dari sisi remaja, bisa terasa seperti mengatur atau merendahkan. Di sinilah pentingnya memahami konteks budaya dannilai generasi sebelumnya.

 Konflik yang Sering Terjadi

  1. Gaya Komunikasi Satu Arah
    Orang tua kadang ingin didengar saja, tapi tidak membuka ruang diskusi.
  2. Standar Sukses yang Beda
    Orang tua punya definisi sukses berdasarkan pengalaman mereka, sementara remaja punya sudut pandang baru.
  3. Pemakaian Teknologi
    Ketika orang tua merasa remaja terlalu sering pegang HP, padahal kamu sedang belajar atau kerja freelance.

Tips Membangun Komunikasi Sehat Antar Generasi

 1. Gunakan Bahasa yang Sopan tapi Tegas

Coba sampaikan pendapat tanpa menggurui. Misalnya:

“Aku paham Ibu khawatir. Tapi aku sudah atur waktunya, kok.”

 2. Pilih Waktu yang Tepat

Jangan bicara saat suasana sedang panas. Tunggu waktu santai, lalu ajak diskusi ringan.

3. Latihan Aktif Mendengarkan

Cobalah untuk mendengarkan dengan niat memahami, bukan membalas.

4. Sesuaikan Gaya Bicara

Kalau perlu, hindari bahasa gaul berlebihan agar tidak makin memperlebar jarak pemahaman.

 

Ilkom Inaba: Komunikasi Itu Ilmu yang Bisa Dilatih

Di IlkomInaba, mahasiswa belajar tidak hanya teori komunikasi, tapi juga praktik dalam berbagai konteks—termasuk komunikasi keluarga, dan lintas budaya.

Melalui diskusi kelas, studi kasus, hingga simulasi komunikasi interpersonal, kamu bisa belajar mengenali pola komunikasi yang sehat dan membangun kedekatan tanpa konflik.

Bahkan, banyak tugas mahasiswa Ilkom Inaba yang mengangkat topik seperti:

  • Perbedaan gaya komunikasi generasi Z vs orang tua
  • Analisis pesan non-verbal dalam konflik keluarga
  • Peran empati dalam mengatasi miskomunikasi

Penutup: Gak Harus Sama, Tapi Harus Saling Paham

Komunikasi lintas generasi bukan soal siapa yang paling benar, tapi bagaimana dua generasi bisa saling memahami cara berpikir dan berkomunikasi masing-masing.

Sebagai remaja, kamu bisa mulai dengan membangun empati dan mencoba menjelaskan dirimu tanpa marah. Sebaliknya, kamu juga bisa bantu orang tua memahami bahwa zaman sudah berubah, dan kita butuh ruang untuk berkembang.

Sebagai mahasiswa Ilkom Inaba, kamu punya kesempatan untuk jadi jembatan generasi—bukan hanya dalam keluarga, tapi juga di masyarakat.

 

📚 Referensi:

  1. DeVito, J. A. (2013). The Interpersonal Communication Book. Pearson.
  2. Gustavsson, A. & Ekström, M. (2003). Intergenerational Communication and Cultural Change.
  3. Rahmat, J. (2019). Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
  4. Kompas.com. (2023). “Konflik Anak dan Orang Tua Karena Perbedaan Generasi.”

Budaya K-Pop: Saat Meme, Fandom, dan Bahasa Pop Culture Jadi Alat Komunikasi Anak Muda   “ Oppa Saranghae!” antara Hiburan dan Bahasa Baru P...